SEMUT IRENG

Tak ada hal besar yang bisa dilakukan dengan mengabaikan hal-hal kecil

tepi 1 2 4 3 5 tepi
Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih. (tapi gak boleh nyerah Brooooooo)
small business home business Come on planted the tree to rescue the world small business home business
.CO.NR Free Domain

Motivasi dan Inspirasi Harian

HARGA WEB INIA$280.75Harga website Anda?

Iklan Anda 200 x 180

Selamat datang di dunia inspirasi dan motivasi. Jika Anda senang membaca cerita lucu, inspiratif, dan motivatif, tak salah lagi, di dalam situs ini Anda akan menemukan cerita-cerita lucu, inspiratif, dan motivatif.

Iklan Anda 200 x 180

Selamat Membaca. Semangat Selalu!!! YES WE CAN

Pikirkan
Takut mati?, jaga hidupmu..., Takut hidup??. Mati aja...
Renungkan
Hidup tidak semudah yang kita bayangkan, tapi juga tidak sesulit yang kita takutkan.Selengkapnya.....
KAMPUNGKU
Trafic Visitors
Refleksi Akhir Tahun 2010
20 December 2010

Dalam Keniscayaan Daulat Alam



"Di (Pulau) Jawa saja, 120 juta orang tinggal di dalam bayang-bayang lebih dari 30 gunung berapi." (National Geographic, Volcano, 2010)

"Kabar baik sudah sangat banyak. Kabar buruknya adalah stabilitas yang ada sekarang ini, betapapun kita menghargainya, sesungguhnya rapuh mengkhawatirkan." (The Economist, 19/12/2010, mengomentari perekonomian dunia pascaresesi)

Akhir Desember, bagi banyak orang, adalah momen refleksi, saat untuk mengambil jarak atas kejadian yang berlangsung 12 bulan sebelumnya. Tak ayal, yang terlintas—lazimnya—adalah rentetan hari yang hiruk-pikuk, dilatarbelakangi oleh beradunya kepentingan politik, oleh upaya ekonomi yang tak selalu berhasil, dan ketegangan sosial yang dipicu kepongahan dan perasaan diri paling benar.

Di luar itu, atau justru karena sibuk terlilit oleh urusan manusiawi dan duniawi tersebut, umumnya sebagian besar dari kita lupa, atau mungkin lengah, pada agenda alam tempat manusia berpijak. Sebagian besar kita lupa pada keniscayaan "suratan takdir" yang telah ditetapkan pada alam, bahwa pada saat-saat tertentu sebuah gunung berapi akan meletus, dan pada saat tertentu ketegangan di antara lempeng-lempeng tektonik yang selama beberapa (puluh atau ratus) tahun terakhir akan berujung pada pelepasan energi berupa gempa bumi dahsyat. Itulah keniscayaan daulat alam.

Kata orang bijak, gempa tak menimbulkan bencana, tapi bangunan yang robohlah yang menimbulkan bencana. Gunung berapi juga tak menimbulkan bencana, tapi kelambanan kita menjauhinya saat ia murkalah yang mendatangkan bencana.

Refleksi atas bencana alam boleh jadi anakronistis atau tidak tepat waktu menjelang pergantian tahun yang diharapkan menghadirkan rasa nyaman dan bahagia. Tapi jelas ia bukan anathema, karena bahkan di tahun yang baru pun, bahkan di tahun-tahun sesudahnya, ancaman itu akan terus ada. Faktanya, Tanah Air Indonesia akan terus berada di atas kawasan Cincin Api Pasifik, tempat bertemunya lempeng-lempeng tektonik utama dunia, yang juga ditandai oleh ratusan gunung berapi, yang secara bergiliran akan meletus dari waktu ke waktu.

Dalam perspektif itulah tahun ini Kompas mengangkat refleksi bencana 2010 sebagai tema utama Laporan Akhir Tahun. Ini bukan dengan semangat mencari kesalahan, tapi untuk mendapatkan kesadaran baru dan pengetahuan lebih banyak guna mempersiapkan diri lebih baik dalam menyongsong gempa dan letusan gunung berapi yang niscaya akan terjadi tersebut.

Dengan kesadaran baru, kita berharap bukan saja mampu menjadi bangsa pembelajar, melainkan juga lebih punya pegangan ketika menghadapi alam yang bagi dirinya sedang mencari keseimbangan baru, tetapi sedang murka menurut paham manusia.

Persiapan jelas tak bisa main-main karena yang kita hadapi sungguh alam yang mahaperkasa. Gunung-gunung berapi di Cincin Api Pasifik—menurut National Geographic (Volcano, 2010)—adalah yang paling aktif di dunia. Sebanyak 450 dari 1.900 gunung api yang berada di dunia ada di kawasan tapal kuda yang terentang sepanjang 40.000 kilometer ini.

Ya, letusan gunung berapi dan gempa-tsunami menjadi ciri khas daya alam yang berpotensi menimbulkan bencana hebat. Tapi kita juga punya potensi tambahan, seperti banjir dan tanah longsor. Yang terakhir ini, selain dipicu oleh alam, kini sering diperburuk oleh akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab, yakni aksi perusakan hutan.

Faktor alam tak dimungkiri, yakni cuaca ekstrem yang dipicu pemanasan global akibat emisi gas-gas rumah kaca yang berlangsung terutama sejak Revolusi Industri. Gejalanya telah banyak kita amati dan rasakan, berupa curah hujan di atas normal disertai petir dahsyat, atau musim dingin datang lebih dini dan intensitas salju yang lebih tinggi dari musim-musim terdahulu.

Efek jadi lebih buruk karena kita kalah cepat membangun infrastruktur yang mampu menampung karakter alam baru ini. Jangankan untuk mengakomodasi perubahan alam, bahkan untuk mengakomodasi pertambahan mobil dan motor saja kita kalah cepat. Ditambah dengan aksi pembalakan liar, banjir dan tanah longsor jadi tampak sebagai konsekuensi logis saja dari faktor non-alam di atas.

Dengan meringkaskan kembali dalam sejumlah tulisan di Laporan Akhir Tahun ini, kita dapat menempatkan tantangan yang ada ini dalam fokus kegiatan ke depan.

Di Luar Bencana Harapan untuk mendapatkan tuturan yang membesarkan hati di luar bencana tampaknya juga belum terpenuhi karena pada ranah non-alam ini pun suasana masih bernuansa muram.

Tekad mengikuti semboyan bijak "Tegakkan hukum sekalipun langit runtuh" sejauh ini masih butuh pembuktian meyakinkan. Memang penanggung jawab rumah tahanan yang memungkinkan mafia pajak Gayus Tambunan keluar hingga ke Bali telah dikenai sanksi. Namun, pertanyaan masih terus tersisa, mengapa hal semacam itu masih bisa terjadi, justru ketika ada banyak retorika terdengar untuk memberantas korupsi dan menegakkan pemerintahan bersih.

Dari kasus perginya Gayus ke Bali ini pula terkuak wajah politik Indonesia, khususnya yang terkait dengan rekam jejak partai. Muncul pertanyaan selanjutnya, benarkah adanya kepentingan politik praktis-pragmatis membuat upaya penegakan hukum jadi lebih sulit?

Dalam refleksi masalah ini pula kita tertarik mengintip apa yang kira-kira akan terjadi di tahun 2011. Termasuk dalam pertanyaan kunci adalah, sanggupkah tiga pendekar penegakan hukum dalam hal ini Jaksa Agung, Kepala Polri, dan Ketua KPK menjalankan misi yang berat ini.

Sementara itu, dari bidang lainnya, yakni ekonomi, kita juga memasuki tahun 2011 dengan bayangan yang tak terlampau meyakinkan. Benar memang masuknya RI dalam G-20 menyiratkan adanya kinerja perekonomian yang baik hingga kita bisa bergabung dengan grup elite ekonomi dunia ini. Namun, sinyal lain juga menampilkan cerita sebaliknya.

Ketika tenggat tinggal lima tahun lagi, pencapaian kita dalam Sasaran Pembangunan Milenium (MDGs) di sana-sini masih terseok. Padahal, isu MDGs—khususnya penghapusan kemiskinan, kesehatan ibu dan anak, pemberantasan penyakit menular—adalah termasuk kebutuhan dasar, yang semestinya sudah bukan persoalan utama kita. Jumlah orang miskin yang disebut masih sekitar 33 juta untuk tingkat pendapatan 1 dollar AS per hari, juga jumlah penganggur yang sekitar 10 juta orang (tergantung bagaimana cara mendefinisikan pengangguran), tak pelak masih merupakan fakta keras yang menohok klaim keberhasilan di bidang pembangunan ekonomi dan upaya perbaikan kesejahteraan rakyat pada umumnya.

Di bidang ini pula masih tersisa pertanyaan sekitar masih belum bangkitnya sektor riil kita, masih belum bangkitnya aktivitas manufakturing berbasis inovasi teknologi. Padahal, sudah lama kita merindukan munculnya merek dagang nasional, seperti untuk sepeda motor yang dalam jumlah jutaan terus membanjiri jalanan kita setiap tahunnya.

Dalam suasana perekonomian nasional yang masih belum kunjung bisa menancapkan akar di negeri sendiri inilah ancaman dari luar masih terus hadir, bahkan beberapa dengan potensi menakutkan. (Itulah alasan kutipan dikutipnya frase dari The Economist pada awal tulisan ini.)

Perang kurs, krisis di kawasan euro, dan sisa-sisa krisis 2008-2009, adalah sejumlah tantangan yang masih harus kita waspadai di tahun depan. Bahkan ada satu hal lagi yang membutuhkan perhatian besar, yakni potensi krisis pangan. Dipicu perubahan iklim, stok pangan dunia memang jadi goyah, dan kini banyak negara yang surplus pun tampak hati-hati untuk melepas surplus yang ada. Akibatnya, pangan diperkirakan akan semakin langka, dan kalaupun ada yang bisa dibeli, harganya pasti mahal.

Harapan Penghiburan Dalam payung kemuraman politik dan ekonomi, serta penegakan hukum di atas, sekiranya ada yang bisa menghibur mestinya—antara lain—berita tentang prestasi olahraga, atau kehidupan (di perkotaan) yang makin nyaman. Namun, di sini pun, apa yang dicari bak judul lagu—My Elusive Dream, atau "mimpi yang sukar ditangkap".

Betul, ada kemajuan dalam prestasi sepak bola seperti diperlihatkan dalam laga AFF, atau perahu naga di Asian Games. Namun, sejumlah olahraga unggulan yang sebelumnya pernah mencapai puncak justru kini meredup, seperti halnya bulu tangkis. Dalam kaitan ini, tidak sedikit yang mempertanyakan metode atau manajemen pembinaan atlet. Mengapa, misalnya, justru atlet nonpelatnas mampu meraih prestasi lebih baik dibanding atlet pelatnas?

Sementara itu, menyangkut kehidupan warga perkotaan—dalam hal ini DKI Jakarta sebagai contoh—harapan mendapat penghiburan pun tidak kalah sulit dipenuhinya. Sekali lagi, tanpa hujan akibat cuaca ekstrem saja, dengan laju peningkatan kendaraan bermotor (mobil dan motor) yang ada sekarang ini, infrastruktur yang ada sekarang ini sudah kewalahan. Apalagi ditambah dengan banjir yang sangat mudah terjadi, kemacetan yang makin hari makin parah terus dialami oleh warga masyarakat. Waktu tempuh ke satu tujuan dari waktu ke waktu bertambah panjang. Bisa kita bayangkan betapa banyak sumber daya (waktu, biaya bensin, peluang dan kesempatan, serta kedamaian jiwa) yang harus terbuang sia-sia.

Apa solusinya? Itulah yang sama-sama ingin kita lihat di tahun 2011. Semoga yang muncul benar-benar solusi, bukan realitas lebih mengerikan. Penghiburan itu sendiri, sementara ini, mungkin baru akan datang dari karikatur lucu yang gambarnya sebenarnya mengolok-olok diri kita.

Tapi, kita acap dinasihati untuk tidak patah semangat dan berhenti berharap. Pepatah mengatakan, "Post nubila jubila" (setelah awan mendung ada sukacita). Semoga itulah yang akan kita songsong di tahun 2011.

Oleh Ninok Leksono

Labels: , , ,

posted by SEMUT IRENG @ 10:34 AM   0 comments
My Happy Family

small business home business

Tentang Saya

Name: SEMUT IRENG
Home:
About Me:
Profil Saya
Posting Sebelumnya
Arsip
Tautan
Powered by

Free Blogger Templates

BLOGGER

© 2005 SEMUT IRENG Template by Isnaini Dot Com